Hari, tanggal : Kamis, 2 Juli 2015
Judul Materi : Perkembangan Kognitif Anak Usia 2-4 tahun
Nama pemateri : Chairunnisa Rizkiah, S.Psi.
Di resume oleh : Rusyda Maulida
Perkembangan kognitif adalah perubahan dan kestabilan dalam kemampuan mental (mental abilities), seperti kemampuan belajar, atensi, daya ingat, bahasa, kemampuan berpikir, penalaran, dan kreativitas (Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Kata ‘mental’ mengacu kepada hal-hal yang berhubungan dengan pikiran. Sederhananya, perkembangan dalam aspek kognitif mencakup perkembangan kemampuan seseorang untuk berpikir, memproses informasi, serta menggunakan informasi yang sudah diperoleh.
Aspek kognitif memiliki peran yang penting dalam perilaku
manusia. Kemampuan kognitif juga berhubungan dengan kedua aspek lainnya, yaitu
motorik dan psikososial. Kita membutuhkan kemampuan untuk menyerap informasi
dari lingkungan dan menggunakannya untuk beradaptasi. Misalnya saat belajar
menaiki tangga, anak memproses informasi bahwa naik tangga itu caranya dengan
satu kaki bergantian. Saat anak berinteraksi dengan teman, anak juga memproses
informasi bahwa orang lain senang kalau ia mau berbagi mainan dan tidak suka
kalau mainannya direbut. Pikiran seseorang juga berhubungan dengan perasaan dan
perilakunya. Ketiga aspek ini biasa disebut 3P (pikiran-perasaan-perilaku). Misalnya,
jika anak berpikir ia dimarahi karena berbuat salah, ia merasa sedih, lalu
perilaku yang muncul adalah menangis atau menjauh dari orang lain.
Seperti halnya orang lain, anak-anak usia 2-4 tahun juga
memiliki pikiran mereka sendiri. Di usia ini kemampuan berbahasa juga mulai
berkembang lebih baik, sehingga mereka mulai lebih banyak mengeksplorasi dunia
sekitar mereka dengan bahasa. Pertanyaan “ini apa?” sering muncul seiring
bertambahnya kosakata dan kemampuan untuk memahami bahasa. Oleh karena itu,
pembahasan perkembangan kognitif di sini akan mencakup perkembangan kemampuan
berpikir dan bahasa. Dalam perkembangan kognitifnya, anak akan banyak belajar
tentang “konsep”. Contohnya:
konsep jumlah (ada berapa banyak benda dalam kelompok benda
ini?) dan angka (angka ini artinya ada berapa banyak benda?)
konsep waktu (kapan sesuatu terjadi?)
konsep urutan (apa duluan, lalu apa, lalu apa lagi? Apa yang
pertama, apa yang terakhir?)
konsep warna (warna yang seperti ini namanya apa?)
Anak mulai menghubungkan informasi-informasi yang ia
peroleh, lalu membuat kesimpulan. Misalnya, hewan yang kakinya empat, berekor,
memiliki kumis, dan berbunyi “meong” adalah hewan kucing. Atau semua warna yang
seperti itu disebut warna biru.
Secara umum, anak usia 2 tahun mulai dapat melakukan
hal-hal berikut:
- Menunjuk benda atau gambar bila nama bendanya disebutkan
- Mengenali nama orang-orang, benda, dan bagian-bagian tubuh yang familiar baginya
- Berbicara dengan kalimat sederhana (2-3 kata)
- Bertanya tentang nama benda, “ini apa?”
- Mengikuti instruksi sederhana, misalnya “pakai sepatu” dan “ambilkan gelas”
- Mengulangi kata yang didengar
- Memahami arti gestur/isyarat yang familiar baginya, seperti anggukan (iya, boleh), gelengan (bukan, tidak, jangan), telapak tangan di depan (stop, tos)
- Menunjuk gambar dalam buku yang menarik baginya
- Menemukan benda yang disembunyikan (di tempat yang tidak terlalu sulit), misalnya di bawah selimut atau di balik pintu
- Mengelompokkan benda atau gambar sederhana berdasarkan satu kesamaan, misalnya bentuk atau warna. Note: anak mungkin belum mengenal nama warnanya, tapi ia tahu bahwa warnanya sama
- Bermain peran dan permainan pura-pura (make-believe play), misalnya pura-pura mengangkat telepon, memasak, atau menaiki mobil
Sedangkan anak usia 3-4 tahun, selain bisa melakukan
hal-hal di atas, juga mulai dapat melakukan hal-hal berikut:
- Berbicara dengan kalimat sederhana 3-5 kata
- Menggunakan kata ganti seperti “aku”, “kamu”, “dia”, dan “kita”
- Mengikuti instruksi bertahap, bisa 2 atau 3 tahap sekaligus. Misalnya, “pakai sepatu, ambil tas, lalu berbaris di depan pintu”
- Mulai memahami konsep jumlah dan berhitung, dengan jumlah yang terus bertambah. Anak usia 3 tahun sudah bisa menghitung jumlah benda sampai 10. Konsep “berhitung” dan “mengenal angka” itu berbeda. Anak bisa menghitung sampai 5 tapi ia tidak harus tahu bagaimana tulisan angka 5.
- Mengenal beberapa nama warna. Biasanya warna-warna dasar seperti biru, merah, dan kuning dan warna-warna yang mudah diingat namanya
- Memahami masalah bila dikaitkan dengan diri sendiri. Misalnya, “Kalau aku dipukul, nanti sakit”
- Mengingat cerita, lagu, atau kata-kata yang pernah didengar atau ditonton, sebagian atau seluruhnya. Juga menceritakan kembali kejadian yang pernah dialami
- Memahami konsep persamaan dan perbedaan, dengan contoh benda yang konkrit. Berdasarkan pemahaman ini, anak bisa mengelompokkan benda berdasarkan kesamaannya. Misalnya “sama’sama makanan”, “sama-sama mainan”, dan “sama-sama buat masak”
- Menyusun puzzle sederhana
- Mengenali susunan kata tertentu yang sudah familiar, seperti tulisan nama panggilannya sendiri dan tulisan yang sering terlihat di rumah atau playgroup/TK tempat ia sekolah
- Mengenal beberapa huruf dan angka
- Bermain dengan imajinasi dan fantasi. Contohnya, pura-pura jadi astronot di bulan, main masak-masakan, pura-pura jadi ibu, dan lain-lain
- Memahami simbol dan artinya. Misalnya “dua” berarti ada dua benda, dan huruf “i” itu huruf yang bentuknya “i”
- Mulai memahami konsep posisi seperti “di dalam”, “di luar”, “di depan”, “di belakang”, “di sebelah/samping”, “di atas”, “di bawah”, dan “kiri-kanan”
- Bertanya dengan kata apa, siapa, kapan, mana, bagaimana (misalnya “gimana caranya?”). Pertanyaan “kenapa” mulai lebih banyak muncul menjelang usia 4 tahun
- Mengenal konsep urutan (sequence) kejadian. Contohnya kegiatan dari anak bangun tidur sampai malam, atau langkah-langkah memasak untuk membuat masakan sederhana seperti jus buah
- Mulai mengenal konsep waktu, seperti sekarang, besok, dan waktu-waktu tertentu seperti “kalau sudah pulang sekolah” dan “malam nanti”. Konsep waktu yang lampau seperti “kemarin” lebih sulit bagi anak usia ini
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendampingi dan
menstimulasi perkembangan kognitif anak:
- Menyediakan sarana informasi, seperti buku, video, suara, kegiatan menjelajah lingkungan, bertemu expert, kegiatan bermain, dan bercerita bersama anak.
- Terbuka terhadap pertanyaan "ini apa?" "Kenapa?" dan lain-lain yang akan banyak diajukan anak, dan bukan justru menyuruhnya berhenti bertanya karena "berisik". Kalau orangtua sedang berbicara dengan orang lain atau sedang membicarakan hal lain, anak bisa diminta menunggu sebentar sampai urusan yang lain itu selesai. Anak juga bisa dimintai pendapat terlebih dulu, misalnya "menurut kamu kira-kira kenapa ya?"
- Jawablah pertanyaan sesuai dengan apa yang orangtua ketahui saja, dan tidak perlu gengsi untuk mengakui kalau ada yang tidak diketahui. Anak malah bisa diajak mencari tahu jawabannya bersama-sama
- Hindari membuat asosiasi antara dua hal yang bisa membuat anak salah paham, apalagi untuk mengancam anak agar menuruti orangtua. Misalnya, "kalau nangis nanti ditangkap pak polisi", "kalau ga mau masuk nanti ada badut loh", atau "kalau nakal nanti disuntik bu dokter". Jangan heran kalau nanti anak malah takut datang ke dokter atau takut bertemu pak polisi, Atau, gampang memberikan label "nakal", "bandel", "bodoh", dan sebagainya. Akibatbya, setiap kali anak melakukan kesalahan ia akan lebih mengingat label itu daripada mengenali kesalahan dan memperbaikinya
- Saat anak bertanya pertanyaan yang "ajaib" atau menggunakan kata-kata yang maknanya bisa berbeda/ambigu, orangtua bisa bertanya dulu untuk memastikan apa yang dimaksud anak. Misalnya anak bertanya "kenapa sih dia nakal?", tanya dulu apa yang dimaksud anak dengan "nakal". Kalau dengan murid saya dulu, nakal ternyata berarti "ga mau bagi-bagi makanan" #tepukjidat
- Orangtua juga bisa mulai bertanya duluan untuk menarik perhatian anak dan memulai topik baru. Misalnya, "tadi kan kita ke kebun binatang. Adek lihat hewan apa aja?" Jadi kegiatan rekreasi bisa direview di akhir hari untuk mengetahui seberapa banyak informasi yang anak dapatkan. Kalau yang anak ingat di kebun binatang ternyata cuma "aku tadi makan es krim enak", mungkin lain kali orangtua perlu usaha lebih keras, hehe...
- Sekian materi perkembangan kognitif dari saya. Semoga bermanfaat :)
Referensi:
Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. Human Development.
11th ed. New York: McGraw-Hill
http://www.education.com/reference/article/Ref_Cognitive/
https://www.healthychildren.org/English/ages-stages/preschool.aspx
http://firstyears.org/miles/chart.htm
Tanya Jawab
- Mulai usia brp anak bisa
diajarkan menghitung penjumlahan & pengurangan benda2 konkret & bgmn
caranya? Bgmn cara menstimulus anak usia 2 tahun mulai belajar menghitung? Bgmn
tahap2nya? Aisyah, Semarang
Dalam konsep berhitung, tentunya akan lebih mudah kalau dimulai dengan benda yang nyata. Jumlahnya bisa sedikit dulu, misalnya dua atau tiga. Tunjuk benda sambil menyebutkan jumlahnya. Atau bila benda masih dalam "gerombolan" (misalnya manik-manik dalam sebuah wadah), satu per satu dikeluarkan dan disusun berjejer sambil menyebutkan jumlahnya. "Satu", keluarkan satu manik dan taruh di depan anak. "Dua", keluarkan satu lagi dan letakkan di sebelah manik yg pertama. Dan seterusnya. Setelah semua benda dalam kelompok itu sudah dihitung, berikan kesimpulan, "jadi ada berapa? Tiga! Tiga itu segini banyaknya." Ulangi lagi menghitung dari benda yang pertama dengan menunjuk bendanya. Menunjuk satu per satu benda sambil berhitung disebut one-on-one-correspondence. Satu benda hanya dihitung dengan satu angka, jadi tidak bisa satu benda ditunjuk dua kali dan hitung "dua" dan "tiga" sekaligus. Kalau anak sudah hapal angka 1-5 atau 1-10, kadang ia menjadi buru-buru dalam berhitung. "Satu dua tiga empat lima..." tanpa menunjuk bendanya satu per satu. Kalau seperti ini, anak tidak sedang berhitung tapi hanya mengulang hapalan angka yang ia tahu. Orangtua bisa mengingatkan anak untuk berhitung pelan-pelan saja dan menunjuk bendanya satu per satu. Makanya di materi tadi saya sebutkan bahwa konsep jumlah itu berbeda dengan sekedar mengetahui angka. Anak usia dini lebih butuh untuk mengerti apa artinya jumlah "dua", daripada mengetahui bagaimana menulis atau mengenali tulisan angka 2. Lama-kelamaan, untuk benda yang jumlahnya sedikit (kurang dari 5) anak mulai bisa berhitung di dalam kepala tanpa menunjuk bendanya lagi. Jangan lupa juga untuk bertanya, "jadi jumlahnya berapa/jadi ada berapa semuanya?" Anak akan mulai belajar bahwa yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah "jumlah", yaitu angka terakhir yang disebutkan oleh anak saat berhitung. Kalau untuk usia 2 tahun, sejauh ini saya baru sampai berhitung bersama-sama dengan anak. Anak bisa menyanyikan lagu angka 1-10, tapi mereka bisa berhitung jumlah benda sampai 5 juga sudah sangat baik. Untuk anak usia 3 tahun, sudah bisa berhitung jumlah sampai 10. Sebagian anak juga sudah sampai lebih dari 10, tapi tentunya butuh konsentrasi yang lebih tinggi. Anak usia 3-4 tahun yang sudah mengerti konsep jumlah juga sudah mulai bisa diajak belajar perbandingan jumlah, misalnya 2 itu lebih sedikit daripada 5, 5 itu lebih banyak daripada 2, dan dua wadah yang isinya sama-sama 5 berarti jumlahnya sama. Untuk penjumlahan dan pengurangan, sebenarnya sudah bisa diperkenalkan dari usia 3 tahun. Tapi mulailah dengan semacam soal cerita dengn menggunakan benda-benda yang ada di sekitar anak. Saya kasih contoh ceritanya, ini tentang buah anggur.
"Di piring ini ada apa ya?" (Anak menjawab)
"Ada berapa banyak?" (Anak berhitung, misalnya 2)
"Sekarang miss kiki tambahin satu anggur lagi ke piring. Jadi berapa ya anggurnya?" (Anak berhitung)
"Oo, jadi 3. Tadi ada 2, ditambah satu, jadinya 3."
Situasi lain:
"Sekarang miss kiki kasih kamu satu. Nih."
"Tadi di piring ada berapa anggur? (Misalnya Lima. Terus kamu makan 1. Tinggal berapa ya yang di piring?" (Anak berhitung)
"Jadi, tadi ada 5. Dimakn satu, jadi tinggal 4. Sekarang anggurnya ada 4, miss kiki makan satu (beneran dimakan). Sekarang tinggal berapa ya anggurnya?" (Anak berhitung)
Teruuus begitu sampai anggurnya habis. Dalam kegiatan berhitung dan aritmatika (penjumlahan, dll), anak perlu mengerti dulu apa artinya "jumlah", "ditambah", dan "dikurangi". Kalau sudah lebih advanced, anak bisa diberi dua kelompok benda. Misalnya 3 pensil warna di sebelah kiri dan 4 pensil warna lagi di sebelah kanan. Anak menghitung jumlah kedua kelompok benda itu, lalu ditanya "kalau tiga pensil ini, ditambah dengan 4 pensil yang ini, jadinya berapa banyak ya?" Jadi bukan lagi menambah atau mengurangu satu demi satu, tapi langsung dalam kelompok kecil. Yang penting, belajarnya dengan benda konkrit dulu. Anak juga tidak perlu dipaksa berlama-lama menghitung ya bun. Apalagi kalau saat itu jawabannya salah atau ia terlihat kesulitan. Saya suka bilang, "gapapa, kan masih belajar. Sekarang sudah bisa sampai lima ya. Hebat!" - Jika anak dibawah 3 thn
bermain edukatif/makan maunya sambil menonton video musik or film kesukaannya
(musik dr simple learning/video diva/syamil/ipinupin dll) adakah pengaruhnya?
Jika tdk, biasanya tdk mau makan/mengerjakan permainan tsb dan si anak 'ribut'
dihidupkan tv nya. Ortu sdh berusaha komunikasi tp ujung2nya dikasih agar anak
mau makan/mengerjakan permainan. Bisa jg mau makannya tp sambil main di luar
rmh. Padahal setahun pertama mau duduk rapi disuapin tnpa tv..(Dina tangerang)
Tentu semakin bertambahnya usia anak, ia juga memperoleh semakin banyak pengetahuan ya bun. Di usia 1 tahun, makanan masih menjadi reward yang besar untuk anak. Acara tv dan video belum semenarik itu jika dibandingkan sekarang saat umurnya sudah 2 tahun lebih. Saat itu anak juga masih disuapi dan waktu makannya tidak lama. Menurut pengalaman saya, pengaruhnya setidaknya ada 2:
1. Anak membuat kesimpulan bahwa walaupun orangtua berkata "tidak boleh nonton dulu, harus makan/mengerjakan ini dulu", ia bisa mengakali supaya lolos dari aturan tersebut. Kalau dia bilang "ga mau makan" atau "g mau ngerjain itu", lalu orangtua akhirnya menuruti keinginan anak untuk menonton video, anak belajar bahwa kata-kata itu bisa menjadi senjatanya. Akhirnya terulang lagi dan lagi, dan bisa jadi kebiasaan yang lebih sulit diubah bila anak sudah semakin besar. Selain itu, bila orangtua tidak tegas dengn satu aturan ini, kemungkinan anak akan mencoba juga untuk nego di aturan lain.
2. Perhatian anak terbagi menjadi dua, sehingga proses belajar yang didapatkannya dari mainan edukatif dan kegiatan makan itu menjadi tidak optimal. Apalagi video dianggap lebih menyenangkan. Orangtua dan anak juga kehilangan kesempatan untuk mengobrol dan mengeksplorasi kegiatan makan dan bermain itu dengan lebih dalam. Kegiatan makan misalnya, bisa digunakan untuk memperkenalkan anak nama-nama makanan, belajar menggunakan sendok dan garpu, menyiapkan peralatan makan sendiri dan mengambil lauk sendiri, dan mengarang cerira tentang suatu makanan, atau sekedar bercerita saja tentang kegiatan yang sudah dilakukan bersama anak. Apalagi mainan edukatif, tujuannya memang untuk menstimulasi perkembangan anak.
Saya pribadi tidak menyarankan anak makan sambil menonton video, walaupun menurut orangtua dan babysitternya anak jadi lebih anteng. Waktu makannya justru akan lebih lama, dan anak tidak belajar tentang aturan untuk menunggu dan bersabar kalau ia menginginkan sesuatu. Tidak jarang juga karena anaknya terlalu lama makan, akhirnya disuapi sambil menonton.
Untuk masalah ini, menurut saya pribadi cara yang perlu ditempuh adalah menerapkan aturan dengan lebih tegas. "Makan dulu, baru nonton video." Kalau anak nego lagi, "Ga mau makan" ? Ya sudah, nonton videonya juga batal.
"Kita main ini dulu, baru nanti kalau udah selesai bisa nonton video." Kalau anak bilang "ga mau, maunya sekarang" ? Ya sudah, maaf ya kalu begitu videonya juga ga jadi. Main yang lain saja dulu :)
Untuk anak usia di bawah 3 tahun, waktu kegiatan yang tujuannya belajar juga tidak perlu terlalu lama. Selain karena anak juga tidak bisa fokua lagi kalau terlalu lama, orangtua juga jadi punya alasan yang kuat untuk negosiasi dengan anak. "Kita kerjain ini 5 menit, terus boleh nonton 1 video yang (durasinya)vsebentar. Ok?" Kalau kegiatannya memang butuh waktu agak lama, bisa juga dibuat bertahap. Tahap 1 selesai (misalnya tracing gambar), boleh nonton 1 video singkat. Lanjut lagi sampai selesai tahap 2 (mewarnai gambar), setelah itu nonton video singkat lagi. Jumlah video yang akan ditonton dalam sekali waktu juga perlu dibatasi ya bun. Misalnya cuma 2 atau 1 saja kalau videonya panjang. Jadi anak juga belajar bahwa ada batasannya. Semoga membantu ya :)
Oiya, tentang videonya. Saya juga suka serial syamil 😁 Tapi waktu menonton orangtua perlu aktif memberikan penjelasan, tidak cuma membiarkan anak menonton. Orangtua bisa mengajukan pertanyaan terkait ceritanya (selama menonton atau setelah selesai menonton) untuk mengetahui apa informasi yang diperoleh anak dari video tersebut. Di video Syamil, kadang-kadang ada juga adegan di mana kakak Syamil marah, teman Syamil mengejek temannya, dan lain-lain yang perlu penjelasan dari orangtua. Misalnya, "wah, kok dia ngejek temennya? Ngejek temen itu baik gak ya?" Ini berlaku untuk semua video yang ditonton anak ya bun - Anak saya wafiq umur 2y8m
bisa dibilang aktif dan bawel.setiap x dy isengin adikknya umur 7m seperti
dipukul,dicubit dan ada sja keisengannya.saya sudah mencoba menasihati bahwa
dipukul itu sakit bang,dicubit itu jg sakit tp ttp saja anak saya memukul lagi
dan lagi. Padahal adikknya msh dlm pengawasan sya jg kdg neneknya.terkadang mau
nyium alasannya,tp ttp saja ujung2nya adiknya kena pukul lgi dan gerakannya
cepat sekali. Sampai kdg saya agk membentak untuk menasihatinya,tp disitu sya
takut dgn perkembangannya nti. Tapi wafiq dibilangin agak susah ini mba menurut
saya.gmn caranya supaya saya tetap bs pelan2 menasihatinya tp bisa dy mengerti?
(Ina,tangerang)
Pertama, jangan berhenti mengingatkan dan menasihati wafiq, bun :) Walaupun wafiq itu kakak, tapi dia juga anak yang masih kecil kan. Masih belajar juga, dan belum benar-benar mandiri tanpa diingatkan sama sekali. Murid-murid saya di kelas juga, walaupun sudah sering dibilang "jangan pukul temannya, sakit", tetap saja kejadian anak memukul teman karena mau mainan yang dipegang temannya itu. Atau anak yang gemas dengan adiknya tapi malah adiknya didorong. Tapi kalau ada kejadian seperti itu, terus dan terus diingatkan, dinasihati, diajak mengerti "sakit" itu dari sudut pandang anak. "Kakak suka ga kalau bunda pukul? Rasanya gimana?" "Kalau kakak pukul adik, rasanya sakit begitu juga. Ga enak kan rasanya." "Bunda ga suka kalau kakak mukul/cubit adik. Itu ga baik. Kakak kan anak bunda yang baik, ga boleh pukul adik."
Lalu, tegas itu tidak sama dengan membentak. Membentak artinya kita marah atau kesal, sedangkan tegas berarti kita sedang menyampaikan pesan implisit kalau ada aturan yng harus diikuti oleh anak. Biasanya tanda paling jelas dari tegas adalah nada suara yang tetap tenang, intonasi tidak naik, tapi ada penekanan di pesan yang disampaikan. Sebaliknya, bentakan disampaikan dengan nada suara yang tinggi, ada emosi kesal/marah, dan bisa berakhir dengan teriakan atau omelan lebih panjang. Kalau larangan atau aturan disampaikan dengan bentakan, anak hanya menangkap bahwa dia dimarahi, sedangkan dengan suara yang tegas saja ia menangkap bahwa "ia berbuat salah dan harus memperbaikinya".
Kalau diperlukan, dibuat aturan tertulis untuk si kakak. Bisa dibuat jadi poster bergambar foto wafiq dan adiknya: foto sedang main sama adik, foto sedang mencium adik, foto mengelus adik. Itu ditaruh di bagian "yang baik kalau sama adik", diberi simbol jempol, senyum, atau lainnya. Di sebelahnya ada gambar "adik menangis", gambar anak memukul (tapi jangan wafiqnya sendiri yang disuruh mukul terus difoto...), masuk di bagian "tidak baik", diberi simbol cemberut atau tanda silang. Dengan bantuan media yang konkrit, wafiq bisa lebih cepat paham dibandingkan hanya dengan kata-kata. Sebelum wafiq mendekati adik, orangtua bisa meminta "janji" dulu darinya. "Kalau main sama adik bisa yang baik? Gimana yang baik?" sambil mengajak anak melihat posternya. "Cium boleh, disayang-sayang boleh. Tapi ga pukul, ga cubit ya. Lihat gambarnya kan?" Oleh karena itu, poster tersebut sebaiknya diletakkan di dekat tempat adik.
Untuk setiap aturan, ada konsekuensinya. Orangtua yang paling paham karakter anak, apa yang disukai dan tidak disukainya. Yang paling sederhana mungkin adalah "kalau menyakiti adik, harus menjauh dulu dari adik selama beberapa waktu dan bermain di tempat lain." Jangan lupa juga bahwa anak harus segera meminta maaf kepada adik, walaupun adik masih sangat kecil. Jangan lupa juga beri apresiasi berupa pujian dan sentuhan bila ia berbuat baik kepada adik, supaya perilaku baik itu makin meningkat dan perilaku menyakiti adik justru berkurang. Semoga bisa membantu ya :)
0 komentar:
Posting Komentar