Pandangan kita
tentang anak pada umumnya sangat mempengaruhi bagaimana kita bertindak dengan
anak sehari-hari. Pandangan bahwa anak merupakan kertas kosong dipopulerkan
oleh filsuf abad ke-17, John Locke. Pandangan
ini masih berpengaruh kuat dalam dunia pendidikan saat ini. sisi negatif dari
pandangan ini ialah anak dianggap pasif dan hanya berada dalam posisi penerima.
Alhasil, cara mendidik kita cenderung satu arah, dari orang dewasa yang
‘mahatahu’ ke anak yang masih ‘kosong’. Padahal, sejatinya anak memiliki
kemampuan sendiri untuk mengeksplore segala hal, dan ini termasuk kemampuannya
untuk belajar.
Kemampuan belajar
pada anak usia dini berbentuk dalam kegiatan bermain. Bermain adalah pekerjaan
anak. Melalui permainan, anak belajar banyak hal. Melalui permainan pula kita
memiliki banyak kesempatan untuk mengajarkan berbagai yang kita inginkan kepada
anak kita, misalnya: matematika, membaca, konsep bentuk, pengenalan warna, budi
pekerti, hingga menulis. Contoh kegiatan bermain anak ini misalnya dua orang
anak sedang menggambar denah rumah di sebuah white board sementara itu anak-anak yang lain membangun rumah
tersebut sesuai denah dengan menggunakan balok kayu. Kegiatan ini bukanlah permainan yang tidak berarti. Ada banyak
hal yang dapat dipelajari anak. Mereka mendapatkan kesempatan untuk mengenal
berbagai konsep penting dalam dunia orang dewasa, seperti perencanaan, membuat
denah, menerapkan denah dalam bentuk fisik, mampu menyelesaikan sebuah masalah,
berlatih sabar menunggu giliran, berbagi dengan orang lain, serta membaca dan
menulis.
Pada anak usia
dini, anak-anak akan sangat peka terhadap penggunaan panca indra untuk memahami
dunianya. Maka, pemberian materi akan lebih efektif jika dilakukan secara konkret.
Anak akan lebih paham konsep besar-kecil, dengan memberikan dua buah benda yang
sama namun berbeda ukurannya, misalnya.
Bagi anak usia
dini, proses melakukan sesuatu lebih penting dan bermakna daripada hasil akhirnya.
Saat membuat suatu karya bersama anak, terkadang kita fokus pada bagimana agar
hasil akhirnya bisa semenarik ilustrasi yang diberika. Tanpa kita sadari, kita
mengambil alih apa yang sehrausnya dikerjakan oleh anak. Hasil akhir yang baik
memang memberikan kepuasan tertentu. Namun, fokus pada hasil akhir saja
sebenarnya kita mempersempit peluang untuk melatih berbagai aspek perkembangan
pada anak.
Ada dua hal penting
yang perlu kita perhatikan dalam proses pembelajaran bersama anak. Pertama,
memberikan pengalaman melalui observasi atau praktek langsung. Kedua,
memberikan anak kesempatan untuk berdialogdengan diri sendiri maupun orang
lain. Setelah diberikan kesempatan untuk melakukan observasi, anak perlu
mengekspresikan apa yang dipikirkannya kepada orang tua ataupun guru, baik
berupa komentar ataupun pertanyaan. Melalui dialog ini, informasi yang diterima
anak semakin utuh dan tidak mudah untuk dilupakan.
Kegiatan yang dapat
memperkaya pengalaman anak tidaklah harus selalu menggunakan mainan yang
canggih dan mahal. Kita sebenarnya bisa menilai mainan seperti apa yang lebih
menarik dan berkesan bagi anak. Sebagai contoh, Ryan (2 tahun) baru saja
dibelikan sebuah robot oleh ibunya. Ia senang sekali dan langsung memainkan
robotan yang menggunakan baterai tersebut. Namun, tak lama kemudian, robot
tersebut tergeletak di sudut ruangan. Ia kemudian asyik bermain dengan
menggunakan panci serta beberapa sendok yang ia temukan di dapur. Ia tampak
lebih asyik memainkannya. Memasukkan sendok ke dalam panci, memukul-mukul panci
dengan sendok tersebut, hingga kemudian sang ibu datang menghampirinya.
Permainan sederhana
tersebut ternyata memberikan lebih banyak peluang kepada Rian untuk melakukan
eksplorasi. Ia terkesan dengan bunyi saat sendok jatuh, saat panci-panci
ditumpukkkan dan kemudian terjatuh, saat memukul-mukul panci dengan sendok,
dst. Demikianlah eksplorasinya berlangsung dengan penuh konsentrasi. Sementara
itu, apa yang dapat ia lakukan pada mainan robotannya selain hanya menggeser
tombol on-off lalu melihatnya
berjalan.
Anak usia dini memang
cenderung lebih tertarik pada objek yang dapat ia ‘manipulasi’. Dengan cara
demikian, anak belajar mengenai objek yang dipegangnya. Piaget mengemukakan
bahwa anak usia dini belajar mengenai dunianya dengan cara yang konkret, maka
itu ia perlu berinteraksi langsung dengan lingkungannya. Meskipun setiap anak
memiliki dorongan alami untuk mencari pemahaman mengenai dunianya secara aktif,
itu bukan berarti kita selaku orangtua menjadi diam saja. Justru sebaliknya,
kita memegang peranan penting dalam menciptakan lingkungan yang kaya akan
pembelajaran bagi anak, memperluas eksplorasi anak, dan memberikan banyak
peluang kegiatan permainan untuk anak.
Pada dasarnya, anak
ingin diberikan kesempatan melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa di
sekitarnya. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya juga bisa. Ia punya dorongan
alamiah untuk meniru apa yang dikerjakan orang ddewasa untuk belajar, menjadi
mandiri, dan bertanggung jawab. Jika diberi kesempatan, kemandirian,
kepercayaan diri, serta rasa tanggung jawab, maka ia akan semakin berkembang.
Karakter positif tersbut, menurut sebuah penelitian, merupakan karakter yang
dimiliki oleh orang-orang yang tangguh. Dan, sesungguhnya anak yang mandiri,
percaya diri, dan bertanggung jawab akan lebih siap menghadapi berbagai tantangan
di ekmudian hari. Oleh sebab itu, anak perlu juga diberikan stimulasi permainan
yang berbentuk practical life skills, seperti
menyapu, mengancing baju, mengikat tali sepatu, membersihkan piring, dan
sebagainya.
Kegiatan bermain
anak lainnya yang perlu diperhatikan ialah mengajak anak bermain di tempat
terbuka, bermain air dan pasir, serta bermain peran. Dengan mengajak anak
bermain di alam terbuka, anak akan mendapat banyak pengalaman mengenai
lingkungannya, misalnya melihat semut berbaris, memperhatikan daun bergerak
tertiup angin, menginjak ranting hingga patah, memperhatikan bayangan dirinya
yang muncul, dan sebagainya. Sementara itu, air dan pasir merupakan media
belajar yang sangat disukai anak. Kedua media ini memberikan banyakpeluang
untuk meningkatkan berbagai kemampuan anak. Mulai dari kemampuan motorik halus
anak, pemahaman mengenai sains, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah,
berpikir logis, kemampuan membaca, berhitung, menulis, hingga kemampuan
bersosialisasi. Demikian pula proses kegiatan bermain peran, anak dapat
mengembangkan imajinasinya. Melalui kegiatan bermain peran, anak belajar
mengenal dunianya. Belajar mengenai berbagai peran yang dimainkan oleh orang
dewasa di sekelilingnya. Bermain peran juga dapat memberi kesempatan kepada
anak untuk menuangkan dan menanggulangi perasaannya. Misalnya, seorang anak
seolah-olah membujuk bonekanya yang sedang sakit agar tidak takut disuntik oleh
dokter. Dengan memainkan peran tersebut, ia sebenarnya sedang memproses
ketakutannya sendiri.
Dalam proses
pembelajarannya, anak akan mengenal kegiatan membaca, menulis, dan berhitung
(calistung). Kegiatan ini seringkali menjadi sorotan utama orangtua sebab
kemampuan ini akan menjadi tolok ukur saat anak masuk SD. Hal ini seringkali
menyebabkan orangtua men-drill anaknya
dengan berlembar-lembar kertas kerja. Anak ‘dipaksa’ duduk diam untuk
mengerjakan lembar kerja tersebut untuk memahami konsep calistung. Lembar kerja
boleh saja diberikan pada anak, namun perlu diimbangi dengan kegiatan khas anak
usia dini, yaitu bermain. Orang tua dapat memasukkan unsur calistung dalam
kegiatan permainan anak. Misalnya, memberikan label angka pada gerbong kereta
api yang dimiliki anak, lalu mengajak anak untuk sama-sama menghitungnya.
Membaca dan menulis
merupakan dua kemampuan `yang berkembang secara beriringan dan berkaitan satu
sama lainnya. Kemampuan ini bisa
berlangsung karena adanya usaha aktif dari anak sendiri serta stimulasi dari
lingkungannya. Pada usia dua tahun, anak cenderung mencoret-coret apa saja yang
ia temui, dari kertas, buku, hingga dinding. Janganlah melarangnya, sebab kegiatan ini merupakan
langkah pertama dari perkembangan kemampuan menulis pada anak. Dengan
mencoret-coret, anak melatih kegiatan motorik halus, konsentrasi, serta
koordinasi mata dan tangannya. Tahapan selanjutnya ialah coretan linier sebab
anak telah lebih mampu mengendalikan alat tulisnya. Pada tahap ini, anak sudah
mulai memahami arti tulisan bagi dirinya sendiri. Tahap selanjutnya ialah
coretan linier berbentuk huruf. Coretan ini sudah mulai mendekati huruf maupun
angka yang sebenarnya. Pada tahap ini, anak semakin memahamimanfaat tulisan
bagi dirinya. Anak juga semakin siap untuk menerima instruksi formal sehubungan
dengan belajar membaca dan menulis, sehingga kemampuannya akan berkembang
pesat. Demikianlah tahapan yang dilalui anak dalam perkembangan kemampuan
menulisnya.
Kesimpulan
Berdasarkan resume
buku tersebut, saya menyimpulkan bahwa jangan pernah memisahkan anak dari
dunianya, yaitu bermain! Dalam kegiatan permainannya, orangtua selaku
lingkungan terdekatnya harus berperan aktif untuk memberikan berbagai stimulasi
kegiatan bermain anak. Anak yang diberikan kesempatan dan peluang untuk
mengeksplorasi serta diberikan berbagai stimulasi tentunya berbeda dengan anak
yang jarang bahkan tidak pernah diberikan stimulasi. Contohnya, saat seorang
anak melihat sebuah bola. Anak yang jarang atau tidak pernah mendapat stimulasi
hanya berpikir untuk menendang bola tersebut. Berbeda dengan anak yang sering
mendapat stimulasi. Ia akan berpikir, apakah bola itu harus ia tendang (bola
tendang), ia pantulkan (bola bekel), ia gelindingkan (bowling), ia lempar
(volly), atau ia masukkan ke dalam gawang (basket). Untuk itulah, orangtua
perlu melakukan berbagai permainan ‘manipulasi’ dengan anak. Misalnya,
menjejerkan beberapa botol menjadi berbetuk segitiga lalu mengajak anak untuk
menggelindingkan bola (permainan bowling), dsb. Stimulasi-stimulasi yang
diberikan lingkungan (orang tua/guru) kepada anak haruslah sesuai dengan
tahapan tumbuh kembang anak. Sebab, anak-anak akan kehilangan minat belajar
jika materi yang ia dapatkan terlalu mudah ataupun terlalu sulit. Dengan
demikian, mengetahui tahapan perkembangan dan pertumbuhan anak merupakan hal
wajib yang harus dipelajari orangtua. Selamat belajar dan bertumbuh,
Ayah-Bunda!
Sumber resume:
Dewey Chugani, M.Si, Ir. Shoba. Anak yang
Bermain, Anak yang Cerdas. 2009. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Disarikan oleh:
Julia Sarah, S.Hum.
0 komentar:
Posting Komentar