Rss Feed
  1. Temper Tantrum

    Sabtu, 19 September 2015

    Resume Kuliah WhatsApp Grup Rumah Main Anak
    Hari, tanggal : Rabu, 16 September 2015

    Nama pemateri : Chairunnisa Rizkiah, S.Psi.
    Di resume oleh : Julia Sarah, S. Hum.

    Assalamu’alaikum ibu-ibu hebat..  Materi kali ini menurut saya ngeri-ngeri sedap. Hihi…Mudah-mudahan kita bisa banyak berbagi pengalaman juga ya.
    Temper tantrum, atau yang lebih sering disebut tantrum, merupakan luapan emosi seseorang saat mengalami kondisi yang tidak menyenangkan. Emosi negatif dari stres yang dihadapi itu diluapkan dalam bentuk perilaku seperti berteriak, menangis, ngotot/tidak mau menuruti perintah, hingga memukul atau merusak barang. Tantrum adalah cara anak mengungkapkan rasa frustrasinya, ketika anak menginginkan sesuatu namun tidak keinginannya tidak dituruti, atau ketika anak tidak bisa menyampaikan keinginan, isi pikiran, ataupun perasaannya secara lisan karena keterbatasan kemampuan bahasa anak di usia tersebut. Tantrum juga lebih rentan terjadi bila anak sedang lelah, sakit, atau mengantuk.

    Tantrum biasanya terjadi di usia toddler (1 tahun – menjelang 3 tahun). Usia 2 tahun sering disebut juga dengan istilah “terrible two”, atau umur 2 tahun dimana perilaku anak sedang “parah” dengan mulai munculnya teriakan, tangisan sambil guling-guling di lantai, dan pukulan. Seiring dengan perkembangan bahasa, pada umumnya tantrum semakin berkurang sebab anak semakin mampu menyampaikan keinginannya dengan kata-kata dan bernegosiasi dengan orang lain. Tetapi patokan umur ini tidak menjadi jaminan bahwa tantrum akan secara ajaib tiba-tiba hilang sendiri setelah usia 3 tahun. Namun, cara orangtua menghadapi anak ketika tantrum dapat juga mempengaruhi kemampuan anak untuk mengatur emosinya di kemudian hari. Misalnya, walaupun sudah lewat usia 3 tahun, bila setiap kali tantrum keinginan anak dipenuhi, maka anak akan terbiasa untuk memaksa orang lain menuruti keinginannya dengan tantrum. Bahkan bila tidak dihentikan, sampai anak jauh lebih besar pun ia bisa terus menggunakan tantrum sebagai “senjata” untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Kemampuan untuk mengatur emosi ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan adalah keterampilan yang diperlukan anak untuk dapat melakukan banyak hal di kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, adalah peran orangtua dan pengasuh di sekitar anak untuk melatih keterampilan anak dalam menghadapi tantrum.

    Berikut adalah poin-poin yang perlu diperhatikan dalam menghadapi tantrum anak:
    1. Stay cool, stay calm. Tetap tenang dalam menghadapi anak, terutama dalam berbicara. Seingat saya kita sudah pernah membahas hal ini juga di sesi tanya jawab materi perkembangan psikososial dan kemandirian anak. Mudah di teori tapi praktiknya butuh usaha besar ya, hehe…Pemandangan saat anak sedang tantrum memang bisa memicu emosi negatif juga pada orang dewasa. Siapa juga yang suka mendengar teriakan melengking anak, melihat anak menangis berguling-guling, atau bahkan memukul. Bila orangtua merespon dengan emosi marah juga (contoh: berteriak menyuruh anak diam, mencubit, mengancam), dengan emosi sedih dan memelas (misalnya berkata “aduuuh...jangan nangis dong…”, “Ga kasihan sama bunda?”, “Malu nih dilihatin orang”), atau terlihat bingung mau melakukan apa, tantrum bisa makin menjadi-jadi dan berlangsung lebih lama. Saat tantrum, anak sulit untuk berkonsentrasi mendengar perkataan orang lain. Orangtua juga sangat mungkin merasakan emosi negatif juga seperti marah, sedih, bingung, dan takut. Ada baiknya menunggu sebentar hingga tangisan anak agak reda, bisa dengan menunggui di dekat anak atau agak menjauh. Sampaikan kepada anak dengan suara yang tenang, “Bunda tunggu dulu sebentar sampai kamu tenang ya.” Ada pula anak-anak yang akan menjadi lebih tenang bila dipeluk, walaupun saat akan dipeluk mereka mencoba meronta. Orangtua bisa mencoba untuk memeluk sambil tetap mengajak anak bicara, “Yuk, tenang dulu ya, stop dulu nangisnya ya…”

    2. Tunjukkan otoritas. Mau tidak mau, anak perlu menyadari bahwa orangtua adalah tokoh yang mempunyai otoritas/wewenang. Ketika semua keinginan anak dituruti bila ia tantrum, anak jadi mendapatkan pemahaman bahwa ialah yang mengontrol orangtua. Dengan kata lain, anak merasa punya otoritas. Untuk sejumlah hal, anak memang dapat diberi otoritas, seperti memilih baju yang akan dipakai untuk jalan-jalan atau memilih mainan di rumah. Untuk tantrum, anak perlu memahami bahwa tidak semua keinginannya dapat dipenuhi.

    3. Konsisten. Konsistensi dalam menghadapi perilaku tantrum anak anak membuat anak pelan-pelan menyadari bahwa ada aturan yang berlaku. Anak juga akan memahami bahwa tantrum tidak bisa dijadikan senjata karena tidak mempan pada orangtua. Pada situasi-situasi tertentu seperti saat anak capek atau sakit, tantrum bisa sedikit lebih ditoleransi mengingat kondisi anak yang memang sedang tidak fit.

    4. Ajak anak bicara. Setelah tantrum selesai, sediakan waktu untuk mengajak anak bicara tentang apa yang terjadi. Saat itu anak biasanya sudah lebih tenang dan dapat diajak untuk melihat balik ke perilakunya tadi. Tadi apa yang dia inginkan, kenapa anak menangis atau berteriak, bagaimana solusinya. Di saat seperti ini, orangtua bisa lebih mudah untuk mendorong anak untuk bicara bila menginginkan sesuatu, dan tidak perlu menangis atau memukul. Jadi, proses belajar anak tidak selesai hanya sampai tantrumnya selesai ya Bun. Justru setelah kondisi emosi anak kembali stabil lah waktu yang tepat untuk mengajaknya bicara. Orangtua bisa mengajak anak bicara dengan menggunakan alat bantu seperti buku cerita, mengajak anak menggambar kejadian tadi, atau sambil makan cemilan bersama.

    5. Antisipasi kemungkinan tantrum. Untuk hal ini, yang paling mengenal anak adalah orangtuanya sendiri. Dalam kondisi apa anak biasanya tantrum? Bila harus makan makanan yang tidak disukai? Bila disuruh berhenti bermain? Bila sedang di supermarket lalu tidak diperbolehkan mengambil barang yang ia inginkan? Dengan mengantisipasinya, anak akan lebih kooperatif dan tantrum berkurang. Misalnya, sebelum anak bermain di mall, beritahu berapa lama waktu bermainnya. Tunjuk di angka berapa jarum jam yang panjang nanti kalau waktu bermain anak habis. Penting, pastikan anak setuju. 5 menit sebelum waktu bermain habis, beri “ancang-ancang” kepada anak. Bila anak sering tiba-tiba menginginkan suatu benda saat berbelanja, sebelum pergi belanja ajak anak untuk bicara, hari itu apa saja yang akan dibeli, dan apa yang boleh dibeli oleh anak. Anak bisa diberi kesempatan untuk memilih satu atau dua makanan yang ia suka (dengan syarat dan ketentuan berlaku sesuai kebijakan orangtua, misalnya bukan permen atau bukan yang terlalu mahal). Anak diberitahu bahwa selain dari makanan yang sudah dipilihnya, orangtua bisa menolak karena tidak ada di daftar belanja. Bila anak sudah diberi kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan situasi yang tidak menyenangkan, ia juga jadi punya waktu untuk mengatur emosinya.

    Semoga bermanfaat. Ayo diskusi dan berbagi pengalaman

    Referensi:
    Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2009). Human Development. 11th ed. New York: McGraw-Hill
    http://www.babycenter.com/0_tantrums_11569.bc
    http://kidshealth.org/parent/emotions/behavior/tantrums.html
    http://kidshealth.org/parent/emotions/behavior/discipline.html?tracking=P_RelatedArticle#

    Tanya Jawab
    1. Assalamualaikum.
      Bagaimana dg anak tantrum yg menyakiti dirinya sendiri maupun orang lain? misal mukul2 bundanya,dll penanganan yg benar apakah di biarkan dulu atau tangani biar ga mukul2..?*bukan kasus pribadi -Widi, Depok RMA1 Anak: chacha 27 bulan
      Jawab:
      Wa'alaikumussalam bun. Dibiarkan itu maksudnya dibiarkan meneruskan perilaku memukulnya? Dari materi2 yg lalu, saya kira kita sudah sepakat ya, kalau perilaku agresif perlu ditangani langsung saat kejadian. Tubuh anak ditahan supaya tidak terus memukul orang lain, menyakiti diri sendiri spt membentur2kan kepala atau memukul2 kepala sendiri, atau merusak barang di sekitarnya. Saat ditahan, anak sangat mungkin utk meronta. Utk kejadian2 tantrum dgn perilaku agresif, situasi dimana orangtua harus menahan tubuh anak adalah titik kritis penanganan tantrum. Di saat seperti itulah orangtua terlihat punya otoritas atau tidak. Apakah orangtua bisa dgn tegas bilang, "bunda ga bisa lepasin kalau kamu belum berhenti pukul2. Berhenti dulu, baru bunda lepas. Baru kita bicara", atau jadi menyerah terhadap keinginan anak krn tidak tahan melihat perilakunya.
      Dari pengalaman saya dipukul dan ditendang anak tantrum (haha ), kita juga bisa ambil opsi utk menjauh dari anak setelah menahan tangannya utk berhenti memukul. Alasannya sederhana, "kalau dekat2 tidak enak, karena dipukuli. Mending menjauh dulu sampai tenang" (utk anak yg berteriak2 juga bisa, "kalau masih teriak2 begitu, telinga bunda sakit kalau di dekat kamu") Tapi lebih baik tetap berada di ruangan yang sama supaya tetap bisa memantau perilaku anak. Warning, di trial pertama anak kemungkinan besar akan tantrum sejadi2nya, karena ia kaget juga kok keinginannya tidak dipenuhi. Tapi "tega" aja ya Bun, itu juga proses belajar utk anak :)
    2. Kadang saya melihat anak tantrum sbg anak yg gigih dlm memperjuangkan apa yg mereka inginkan, gimana triknya saat kita mengarahkan, hehe itu masalahnya... Saya mempunyai 2 keponakan yg berbeda karakter. Kakaknya kalau tantrumnya akut aduh ampun... Kekeuh pisan, ada saja tingkahnya, sampai tercapai yg dia inginkan, orang tuanya kalau sedang tidak sabaran biasanya kasih sambel ke mulutnya atau pakai hanger agar tenang (aduh saya ngeri lihatnya).. Lain dengan adeknya kalau tantrum, kami cuekin sampai dia capek sendiri atau lupa. Mb Ki2 tlg bantu ya solusi baiknya bagaimana mengarahkan 2 keponakan tsb saat tantrum... Agar saya punya rekomen solusi tuk kakak saya agar lebih bijak terhadap anak2nya. Terima kasih banyak... Habibah, Jakarta, Gaza 13m, RMA1
      Jawab:
      Hehe, saudaraan tapi bisa beda gitu ya gayanya  Penanganan tantrum sebenarnya jadi proses belajar utk hal yg sering disebut manajemen konflik/ resolusi konflik. Jadi tujuan utamanya bukan "anak berhenti tantrum", tapi "anak paham bahwa ada cara lain utk menyelesaikan msalahnya (dalam hal ini kondisi di mana anak tidak bisamendapatkan keinginannya) selain marah2 dan mengamuk". Keterampilan ini akan dibutuhkan sampai dewasa loh...Jadi mengancam anak dgn sambal, pukulan, cubitan, "nanti ada badut", "nanti ditangkap pak polisi", dan gertakan2 lainnya tidak menyelesaikan akar masalahnya. Jadi yg pertama harus dilakukan oleh orangtua adalah berhenti menyelesaikan konflik itu dengan ancaman. Anak justru akan semakin "gigih" mengamuk utk mengalahkan orangtua. Dan kalaupun anak "berhasil" dibuat diam, bukan karena anak belajar mengontrol diri tapi justru karena anak merasa takut.
      Kalau utk si kakak, anggap saja masih di tahap 1, tahap awal. Apalagi kalau anak sudah bertahun2 terbiasa dgn cara itu utk mendapatkan keinginannya. Kebisaannya itu harus dirombak total kan, dan pasti di awal perlawanannya bikin orangtua harus tarik nafas dalam2 sambil istighfar.
      Kalau anaknya sudah cukup besar, usia 5 tahun ke atas, di saat dia tidak tantrum sebenarnya bisa dilakukan kegiatan mengajak anak bicara, apa sih yg membuat anak selalu tantrum kalau menginginkan sesuatu. Selanjutnya bisa dilakukan simulasi kecil2an, misalnya orangtua memegang suatu benda dan ceritanya anak menginginkan benda itu, tapi tidak diberikan. Anak didorong utk berpikir, bagaimana caranya utk meminta atau memberitahu bahwa ia ingin benda itu tanpa tantrum. Setelah strategi baru itu dicoba oleh anak, ia bisa diajak utk membandingkan sendiri, lebih enak mana, tantrum atau stay cool. Misalnya, kalau nangis2 terus kan capek, orangtua juga ga suka, sudah besar tapi kok masih harus nangis2, kn bisa bicara, dll. Ketika ada kejadian tantrum lagi, sedikit banyak anak sudah punya dasar "teori"nya dan orangtua lebih mudah "nyambung" utk mengingatkan anak utk mengontrol diri dalam situasi tsb
      Utk si adik, sekilas kelihatannya lebih mudah ya. Ditinggal saja, terus berhenti sendiri. Tapi jangan lupa juga, diabaikan itu rasanya tidak enak...Setelah anak tenang, orangtua perlu juga utk mengapresiasi anak yg sudah bisa tenang dan menanyakan kondisinya. Salah satu murid saya ada yg biasanya berhenti sendiri kalau dijauhi dan dibiarkan. Tapi saya perlu beritahu dia kalau saya menjauh krn saya menunggu dia tenang, dan kalau dia sudah tenang dia bisa bergabung lagi. "Kamu masih marah? Belum mau ikut kegiatan? Ok, di sini aja dulu sebentar. Tapi miss kiki ga temani ya, miss kiki di sana sama teman2. Kalau sudah tenang, kamu bisa ikut sama2 yg lain." Saat anak sudah tenang, saya akan bilang terima kasih karena dia sudah bisa tenang, dan bertanya, "udah ga apa-apa? Udah ga kesal lagi? Kamu udah mau ikut main ini? Sip deh, yuk kita senang-senang, ga usah kesal-kesal lagi." Ini terkait dgn perkembangan emosi anak juga. Dgn kita bertanya, anak bisa mengenali bahwa tadi dia merasakan emosi marah atau sedih. Mengenali emosi diri sendiri juga bisa membantu anak utk menghadapinya. Mudah2an jawabannya membantu ya :) Oiya, ada juga kan anak2 yg berhenti sendiri karena capek, seperti si adik tadi. Itu juga bisa jadi kesempatan ortu utk mengajak anak bicara. Capek ya, nangis...Ga enak ya nangis2 terus. Tadi mau apa sih kok sampai harus nangis?
    3. Anak saya 2 tahun 7 bulan, baru2 ini mulai muncul sikap ngotot harus dituruti. Akhirnya karena saya tetap pegang prinsip "tidak boleh" akhirnya jadi tantrum.
      Mba, kalau sehari anak tantrum lebih dari sekali, penyebabnya beda2, & dengan jeda singkat dari tantrum sebelumnya apakah itu berdampak buruk pada kejiwaan anak? Anak stres? Yang pasti anak saya biasanya tantrumnya tidak lama, kurang dari satu jam sudah bisa diatasi.
      Lalu apakah tantrumnya anak saya termasuk yg menangis "pura2"? Terima kasih banyak mba Kiki. Aisyah, Semarang, usia anak 2 tahun 7 bulan.
      Jawab:
      Di usia 2 tahun, anak mulai merasa ada otonomi/kontrol yg dimilikinya. Di antaranya, sudah bisa eksplorasi lingkungannya sendiri. Anak merasa "aku sudah hebat", padahal kenyataannya ada banyak hal yg tidak bisa ia kontrol. Ketika bertemu dengan kondisi2 yg tidak bisa ia kontrol, anak bingung dan kesal, "kenapa tidak bisa? Kenapa tidak boleh?" Nah, pertama-tama, apakah orangtua sudah menjelaskan alasan "tidak boleh"nya ke anak? Bila anak tidak pernah tahu kenapa ia tidak boleh, berulang-ulang juga ia akan marah bilang dihalangi melakukan hal tersebut.
      Kedua, utk penyebab tantrum yg beda-beda, bunda bisa coba bikin daftar, apa saja yg membuat anak tantrum dalam sehari ini dilakukan dalam 3-4 hari. Bisa jadi, tantrum yg kelihatannya sering terjadi dalam sehari itu disebabkan oleh benda/kejadian yg itu-itu lagi. Misalnya, urusan bermain, makan, mandi, dilarang memegang benda yg kelihatan menarik, dll. Dengan mengetahui pasti dulu apa yg membuat anak tantrum, baru bisa dilanjutkan dgn mengantisipasi kemungkinan nanti anak tantrum di kondisi serupa dan mengajak anak berbicara ttg tantrumnya.
      Saya tidak bisa menjawab apakah tangisan anak itu tangisan pura2, karena saya tidak pernah lihat langsung anaknya. Utk hal ini menurut saya orangtua yg paling mengenal anak :)
    4. Assalamualaikum Ki, terimakasih materinya. Sangat menarik materinya. Maaf Ki mau nanya batasan anak dikatakan tantrum itu sejauh mana ya? D penjelasan, Kiki menyebutkan tantrum itu seperti menangis dan sebagainya. Nah menangis yg seperti apa yg dikatakan tantrum? Syukron Ki. Anis_2y7m_depok_RMA2
      Jawab:
      Wa'alaikumussalam :) Suatu perilaku busa disebut tantrum bila ada luapan emosi marah karena tidak bisa mendapatkan apa yg diinginkan. Atau bisa juga, karena menginginkan sesuatu tapi tidak bisa menyampaikannya. Menangis, berteriak, melukai orang, merusak barang hanya sebagian di antaranya. Anak juga bisa menolak perintah, misalnya menolak utk pindah tempat duduk atau menolak makan sampai keinginannya dipenuhi. Tapi pasti bukan cuma akan "menolak". Menolaknya dengan nada bicara yg penuh kekesalan juga, "Ga mauuuuu!!!"
      Kalau mau dibandingkan, mungkin perbandingannya menangis karena sakit dan menangis karena kesal. Kalau anak kecil sedang sakit, jatuh, atau terluka, reaksi paling umun adalah menangis. Menangisnya pilu dan sedih, dan kita tahu kalau ia menangis karena tubuhnya merasakan hal yg tidak enak. Kalau dipeluk atau dielus, anak lebih cepat tenang karena yg ia cari memang rasa nyaman dari sakitnya. Kadang anak juga masih bisa menjawab saat ditanya, sakitnya di mana dan karena apa. Saat anak menangis saat tantrum, yg dicari bukan rasa aman dan nyaman tadi, tapi kepuasan utk mendapatkan apa yg ia inginkan. Menangis tantrum disebabkan oleh frustrasi, biasanya bukan lagi "cuma" menangis (crying) tapi berupa menangis meraung-raung/ menangis gerung-gerung (wailing), dan volume suaranya keras. Terlihat seperti anak sedang berusaha utk meluapkan kekesalannya. Tidak jarang anak menangis (keluar air mata) tapi disertai berteriak2 marah. Orang dewasa pasti lebih mengerti ya, bagaimana rasanya frustrasi karena tidak mendapatkan hal yg diinginkan, saking kesal dan kecewanya sampai menangis. Kesan yg paling terlihat adalah anak marah dan kecewa, bukan sedih karena sakit. Mudah2an jawabannya membantu ya :)
    5. Apakah anak yang tidak bisa diasuh atau diajak orang lain itu termasuk anak tantrum? Karena anak saya akan menangis sejadi2nya kalau tidak ada saya di sampingnya. Bagaimana cara mengatasinya? Adakah dampak negatif dari hal tersebut? Terima kasih. Rossy. Salatiga. Elmyra23bulan. RMA3
      Jawab:
      Saya kira ini lebih berhubungan dengan hubungan anak dan orangtua ya bun. Dalam psikologi kita mengenalnya dgn istilah attachment, atau ikatan emosional antara anak dan pengasuh utama (bisa orangtua atau sosok yg berperan sbg orangtua). Ketika anak tidak mau berpisah dari orangtua, artinya anak merasa cemas dan tidak aman bila sosok orangtua tidak ada di dekatnya. Selain itu, tergantung konteks kejadiannya juga. Dalam situasi apa anak tidak mau berpisah dari orangtua? Kalau di tempat baru, utk anak umur 23 bulan itu sangat wajar. Apalagi kalau anak selama ini memang belum pernah berpisah dari orangtua, misalnya kondisi anak ditinggal di rumah dengan nenek atau pengasuh saat orangtua pergi bekerja. Kecemasan akan berpisah dengan orangtua memang merupakan krisis yg penting di usia 2 tahunan. Tapi seiring bertambahnya usia, anak memang perlu mulai "dilepas" ya bun, supaya bisa lebih mandiri utk mengeksplorasi lingkungannya. Sebelum orangtua pergi, bisa disiapkan dulu kegiatan yg menyenangkan utk anak. Orang yg akan menjaga anak selama orangtua pergi juga sudah mulai melakukan kegiatan bersama anak. Kalau perlu, anak diberitahu sebelumnya, bunda perlu pergi ke mana dan utk keperluan apa (tidak perlu sangat detil, pastikan anak paham). Kalau sudah pergi, jangan balik arah lagi. Di awal2, perginya tidak perlu lama2. 30 menit sampai 1 jam sudah cukup. Setelah itu lihat reaksi anak saat orangtua pulang. Hibur anak dgn mengatakan walaupub pergi, nanti pulang lagi kan.
      Tambahan: kalau anak juga belum mau dekat2 dengan orang yg akan menjaga anak selama orangtua pergi (misalnya ART), orangtua perlu menciptakan kesempatan utk anak dan orang tersebut melakukan kegiatan bersama. Bisa dgn bermain, membantu di dapur, atau berjalan-jalan. Mungkin butuh waktu beberapa hari atau beberapa minggu juga. Tapi setelah anak merasa lebih nyaman dengan orang tersebut, proses berpisah dari orangtua insyaAllah akan lebih lancar.
    6. Assalamualaikum mba.. Putri saya belakangan ini baru saya ketahui ada kecenderungan seperti mudah tersinggung (kejadian baru 2x). Pertama, saat main bersama nenek, si nenek memanggil putri saya dgn sebutan "si keriting" (rambut anak saya memang keriting). Tidak lama berselang, dia diam menunduk beberapa lama lalu nangis teriak kejer sampai sesenggukan. Kejadian kedua, saat tingkahnya yg lucu ditertawai oleh ayahnya. Hampir sama seperti sebelumnya, dia langsung diam menunduk lama lalu menangis kencang. Bagaimana solusinya ya mba, apakah ini termasuk kategori tantrum? Lalu apakah kami harus lebih menjaga atau "hati2" menghadapi anak seperti ini? Terima kasih. Indri_Bogor_Syafiya 1y_RMA3
      Jawab:
      Jangankan anak ya bun, orang dewasa juga pasti merasa tidak nyaman dan malu kalau ditertawakan atau dipanggil dgn panggilan yang tidak disukai :) Murid saya dulu pernah tantrum karena dipanggil "unyil" oleh orang dewasa, walaupun maksudnya karena anak itu lucu dan menggemaskan, bukan utk mengejek. Apalagi ternyata bagi anak2 yg masih sangat kecil (di bawah 2 tahun), orang yg menertawakan atau memanggil dengan panggilan yg bukan namanya itu dianggap seperti sedang mengejek. Begitu juga kalau anak sengaja digoda, misalnya "hayooo nanti ada om badut loh" atau pura2 mau mengambil mainan anak.Hal tersebut dianggap anak sebagai ancaman.
      Untuk syafiya yg baru berumur 1 tahun, mungkin belum bisa bicara sendiri kalau ia tidak suka diperlakukan seperti itu. Tapi saat kejadian, orangtua bisa langsung ajak anak hadapi rasa kesalnya. Reaksi anak saat digoda seperti itu kan biasanya menunduk. Berarti ia tidak menyukainya. Saat itu, orangtua bisa bertanya, "syafiya ga suka ya dipanggil keriting? Ga mau ya?" Walaupun anak belum bisa bicara dgn jelas, anak sudah bisa merespon dgn menggelengkan kepala atau berkata "nda" dengan ekspresi yg memang menunjukkan kalau dia tidak suka. Orangtua bisa membantunya utk bicara ke orang yg membuatnya tidak nyaman itu, "syafiya ga suka dipanggil keriting, nenek...syafiya maunya dipanggil syafiya aja. Iya, syafiya?"
      Memang orang2 di sekitarnya yg perlu lebih hati2, namun anak juga bisa dibantu utk menyampaikan ketidaksukaannya. Juga minta orang dewasa utk minta maaf kepada anak kalau ternyata memanggil anak dgn panggilan yg tidak disukainya. Dengan demikian anak juga jadi punya kesempatan utk diajak menyelesaikan masalahnya sampai tuntas. Misalnya, "Iya, dimaafin. dimaafin kan kak? Udah ga apa2 ya. Tapi jangan lagi ya ayah, krn syafiya ga suka. Ayah udah minta maaf, jadi ga perlu pakai nangis ya. Hebat!" Memang orangtua yg akan bicara mewakili perasaan anak, namun anak bisa paham kok apa yg dibicarakan. Mudah2an jawabannya membantu :)
    7. Saya sering mendengar mitos dari orangtua/sesepuh bahwa anak jangan terlalu lama dibiarkan menangis apalagi sampai 'sesenggukan' krn bisa menyebabkan 'kematian'. Sebetulnya apakah tidak apa2 jika anak dibiarkan tantrum terlalu lama? (dg catatan anak sudah disikapi dg lembut oleh orangtuanya tapi tetap mengamuk nangis) (Ani - Banjar - Nada 16m - RMA 3)
      Jawab:
      Saya sendiri tidak pernah membiarkan anak menangis sampai lama. Kasihan, anak capek dan bisa makin frustrasi karena merasa diabaikan. Makanya saya sampaikan tadi, menjauh sebentar saja. Untuk memberi anak waktu menghadapi emosi marahnya, dan utk orangtua berpikir lebih tenang. Beberapa menit saja, 5-10 menit, terutama kalau anaknya memang bukan anak yg bisa berhenti menangis sendiri dan mulai melakukan kegiatan lain sendiri. Apalagi kalau kejadiannya di rumah, sambil menunggu anak tenang orangtua bisa melakukan kegiatan lain yg menarik, seperti memainkan mainan anak, melipat2 kertas, menggambar, membentuk2 playdough, dan lain2 yg bisa mengalihkan perhatian anak. Dalam rentang 5-10 menit, kebanyakan anak sudah mulai mengalami suara mengecil karena capek. Orangtua bisa menawarkan anak utk minum atau membasuh muka supaya kondisi fisiknya lebih enak, terutama anak yg menangisnya sesegukan karena sulit mengatur napas saat menangis. Saat menangis juga anak mungkin perlu dibantu utk mengeluarkan ingus yg membuatnya sulit bernapas. Perjuangan ya, menemani anak menangis gerung2  Tapi dgn orangtua tetap tenang, tetap mengawasi dan membantu anak walaupun tidak menyerah dengan tantrumnya anak, anak akan belajar bahwa cara yg ia gunakan tadi tidak mempan utk mendapatkan keinginannya.
    8. Assalamu'alaikum bunda... Anak saya kalo marah biasanya saya hadapi dg stay calm. Tp ini dia masalahnya, ghaly paling tdk suka kalo ducuekin atau merasa diabaikan. Jadinya marahnya semakin parah. Dipelukpun meronta dan kadang bicara yang menurut saya agak kasar. Saya harus gimana bunda, secara energi cukup terkuras hanya untuk ladeni si kakak? Nelly-makassar-ghaly 5y- RMA3
    9. Assalamu'alaikum Kalo saya meninggalkan anak dalam keadaan tantrum ternyata setelah 15-30 menit masih jg belum selesai, masih dgn nangis dan teriak2 (dlm pengawasan), apakah itu salah? Serta cara menghadapi orang tua yg sering turut serta dlm menangani anak tantrum sehingga mengambil alih perlindungan untuk anak tantrum td. Seperti apa baiknya sikap konsisten saya terhadap anak dan orang tua saya? (Karena anak saya dititip di rumah ibu) Terima kasih ibu mohon maaf kalau bahasa pertanyaannya tdk tersusun rapih -Siti_bandung_rma3
    10. Assalamualaikum Alhamdulillah baby saya belum pernah sampai tantrum yg hebat.. paling kalau lagi main sama sepupunya trus saya ajak pulang dia pasti nangis. Tapi saya alihkan perhatiannya juga udah hilang nangisnya. Tapi saya nggak tau kalau nanti entah suatu saat dia tantrum yg heboh. Bagaimana menghadapi bayi yang tantrum di umurnya yg baru 14 bulan. Makasih. Nonon/ketapang banten/RMA3
      11. Bunda anak saya selalu menangis sekencang2nya jika ada kemauannya yg tdk saya turuti atau ketika saya sdg menghadapi tamu dia selalu mencari perhatian padahal anak ini sdh berumur 9 tahun. Apa karna sejak kecil saya biasakan memberikan yg dia mau ketika dia sdh menangis? Bgmn cara saya menghadapi anak seperti ini, biar bisa diaplikasikan untuk adek2nya.. Zahra/Makassar/RMA3
    Utk pertanyaan yg lain (no. 8-11), 4(empat) pertanyaan itu sedikit banyak sudah dibahas di materi tantrum tadi pagi. Saya jawab bareng2 aja ya dgn sedikit tips:
    1. Saat anak tantrum dan orangtua memutuskan utk menjauhi anak sampai dia tenang, pastikan dulu orangtua sudah BICARA pada anak kalau orangtua akan menjauh sebentar sampai anak tenang, dan kalau sudah tenang anak boleh coba lagi bicara apa yg dia mau tanpa nangis. Kalau anak menangis berteriak2 dan orangtua langsung bilang "ah kalau nangis terus mama pergi dulu deh" tanpa penjelasan apa2 lagi, anak juga bingung dan makin kesal.
    2. Kalau ada perilaku anak saat tantrum yg memang tidak sesuai dgn norma dan aturan yg dipegang orangtua, langsung beritahu anak. Misalnya anak tidak boleh bicara kasar, tidak boleh memukul, tidak boleh membuang makanan, tidak boleh sengaja menangis saat orangtua sedang bicara dengan orang lain.
    3. Utk anak yg sudah besar, tantrum juga bisa diantisipasi dengan dibahas langsung bersama anak saat anak tenang. Jadi tidak harus hanya rusuh2 dan jadi capek saat anak tantrum. Di grup lain saya jawab salah satu pertanyaan dengan strategi mengajak anak diskusi ttg tantrum ini. mungkin nanti bisa dilihat di resume materinya. :)

  2. 0 komentar:

    Posting Komentar